Foto : Komunitas warga peduli aids turen |
"Alhamdulillah Kami sukarela menolong sesama merawat ODHIV dan ODHA meski swadana," tegas Ketua WPA Turen, Tri Nurhudi Sasono ,M.Kep. Kamis 30/4/2020 di Shelter Rumah Singgah ODHA Talok Turen Kabupaten Malang.
Tri menuturkan, pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini dirinya bersama pegiat WPA berupaya keras untuk tetap bisa merawat ODHIV di tengah keterbatasan dana.
"Kami sedang berusaha mengajukan ke Dinsos untuk bisa tercover bantuan sosial bagi 42 ODHIV terdampak pandemi Covid-19," terang pria yang juga dosen di STIKES Kepanjen tersebut.
Sekilas informasi, hingga kini di Turen ada sebanyak 59 ODHIV yang berdomisili di Turen dan sekitarnya.
Tri mengungkapkan, dirinya perlu untuk menjelaskan tentang perbedaan ODHIV dan ODHA.
Dikatakannya, kalau ODHIV seperti orang normal tidak ada gejala meskipun dalam tubuhnya ada virus HIV.
"Ya seperti Corona yang OTG (Orang Tanpa Gejala). Yakni orang tanpa gejala namun sebenarnya ada virus di tubuhnya. Namun kalau ODHA sudah masuk fase AIDS diitandai munculnya gejala-gejala sariawan, gatal-gatal, berat badan menurun dan batuk tak kunjung sembuh.
Sehari-harinya, Tri bersama pegiat WPA mengasuh dan merawat para ODHIV dengan kesabaran dan penuh kasih sayang.
Hingga kini WPA eksis bersama
pengurus harian sebanyak 5 orang yang aktif dari total 29 orang yang terdaftar pada SK.
Awal mula berdiri WPA adalah diinisiasi oleh pemerintah melalui KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kabupaten Malang pada tahun 2013.
Berdasar rencana setiap kecamatan akan didirikan WPA. Namun karena mengalami kendala, WPA di Turen dibuatkan Yayasan untuk dasar pendirian agar legal dan resmi secara hukum.
"Kami sebenarnya juga ingin agar ada
dukungan lintas sektor pemerintah dan swasta, tidak hanya WPA sendirian. Dukungan tidak hanya berupa materi, masyarakat tidak mengucilkan ODHA juga sudah termasuk dukungan buat kami," tukas Tri.
Foto : Pasien ODHA yang dirawat di turen |
"Saya prihatin sampai sekarang masih ada stigma negatif di masyarakat karena menganggap mereka orang nakal. Padahal bisa saja semisal penderita wanita ibu rumah tangga baik-baik mereka tertular dari suami yang suka jajan," imbuh Tri.
Ia menjelaskan, sehari-harinya, para ODHIV membutuhkan hal-hal berupa
kebutuhan untuk kesehatan biologis yaitu obat ARV (Anti Retro Virus) yakni obat untuk menghambat pertumbuhan virus dalam tubuh ODHIV.
Selain itu mereka juga memerlukan
nutrisi, dan proteksi infeksi oportunistik atau gejala-gejala penyakit penyerta.
Kebutuhan lain adalah untuk sisi psikologis mereka, yaitu penyadaran untuk menerima status HIVnya.
Sementara untuk aspek sosial kebutuhan mereka berupa dukungan masyarakat, jaminan kesehatan, jaminan pekerjaan, jaminan pendidikan, dan jaminan sosial lainnya.
Terakhir adalah berupa kebutuhan spiritual mereka untuk bisa memaknai kehidupan, mesikipun status ODHIV mereka tetap berdaya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
Tri bersyukur karena solidaritas sosial di Turen cukup kuat. "Alhamdulillah WPA bergabung dengan Komunitas Turen Bersatu. Dengan berbagai komunitas di Turen kami selalu berkoordinasi dan saling membantu," urai Tri.
Ia merasa beruntung karena seiring berjalannya waktu, saat ini WPA sudah berbentuk Yayasan dan memiliki badan hukum. Sehingga operasional dari para donatur, pemerintah maupun swadana mandiri sudah terlindungi dari aspek hukum.
"Mungkin ke depan Kami berusaha untuk bisa mengakses CSR perusahaan BUMN atau swasta lainnya," papar Tri.
Ia menjelaskan, WPA setiap hari intens melakukan kegiatan untuk penemuan kasus sedini mungkin, pendampingan obat ARV, membantu premi BPJS ODHIV, pemberdayaan ketrampilan sesuai potensi, dan mengurus rujukan ke layanan kesehatan bagi ODHIV yang mengalami penurunan kondisi," jelas Tri.
Berbagai cara dan kreatifitas dilakukan untuk mengisi pundi dana agar WPA tetap mampu merawat ODHIV dan ODHA.
Sekarang ini dengan pola memberdayakan penderita, akhirnya mampu membuat usaha home industri kopi bubuk.
"Untuk merawat ODHIV dan ODHA kami mengandalkan cover dana BPJS. Sedangkan untuk tambahan pemasukan, kami memberdayakan mereka berpartisipasi memproduksi kopi bubuk," papar Tri.
Tri bersyukur, meski sedikit, hasil dari berjualan kopi bubuk bisa untuk menambah operasional WPA setiap harinya.
"Hasilnya tidak bisa dipastikan. Rata-rata dalam sebulan bisa sampai Rp 390 ribu," urai Tri. (*).
Posting Komentar